Selasa, 21 Februari 2017

Demokrasi Ekonomi

Demokrasi Ekonomi

Baca Juga


Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya, dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat. Dalam sistim demokrasi yang dibangun tentu tidak semuanya secara langsung dikuasai oleh rakyat. Beberapa bagian yang pokok diwakilkan pengurusannya kepada negara, dalam hal ini kepada (i) MPR, DPR, DPD, dan Presiden dalam urusan penyusunan haluan-haluan dan perumusan kebijakan-kebijakan resmi bernegara, dan (ii) kepada Presiden dan lembaga-lembaga eksekutif-pemerintahan lainnya dalam urusanurusan melaksanakan haluan-haluan dan kebijakan-kebijakan negara itu, serta (iii) secara tidak langsung kepada lembaga peradilan dalam urusan mengadili pelanggaran terhadap haluan dan kebijakan-kebijakan negara itu.
Namun, terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan dari rakyat yang berdaulat kepada para delegasi rakyat, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif itu, makna kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu tidak dapat dikurangi dengan dalih kewenganan rakyat sudah diserahkan kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara, kedaulatan rakyat itu bersifat ‘relatif mutlak’, meskipun harus diberi makna yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan Allah sebagaimana diakui dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945. Sebagai konsekwensi tauhid, yaitu keimanan bangsa Indonesia kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap manusia Indonesia dipahami sebagai Khalifah Tuhan di atas muka bumi yang diberi kekuasaan untuk mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[1]
Pada kesempatan lain Bung Hatta menegaskan kembali pengertian usaha bersama atas asas kekeluargaan seperti dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut: “Usaha bersama atas asas kekeluargaan ialah koperasi, seperti yang dipahamkan dalam sosialisme Indonesia. Pasal 33 UUD membagi pekerjaan membangun ekonomi masyarakat antara koperasi dan negara. Koperasi membangun dari bawah, mengajak orang banyak bekerja sama untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Usaha yang besar-besar diselenggarakan oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti, bahwa pemerintah sendiri menjadi pengusaha dengan segala birokrasi yang ada padanya. Pemerintah menetapkan politik perekonomian, berdasarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pekerjaan dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikontrol oleh negara.”[2]



[1] Jimly Asshiddiqi “Demokrasi Ekonomi” di http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf diakses pada tanggal 14 Mei 2015
[2]  Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), 1992, Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran, UI-Press: Jakarta.  hlm. 150

Related Posts

Demokrasi Ekonomi
4/ 5
Oleh