Baca Juga
Gagasan
demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi
di negara kita. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung
gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya, dalam pemegang
kekuasaan tertinggi di negara kita adalah rakyat, baik di bidang politik maupun
ekonomi. Seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang
berdaulat. Dalam sistim demokrasi yang dibangun tentu tidak semuanya secara
langsung dikuasai oleh rakyat. Beberapa bagian yang pokok diwakilkan
pengurusannya kepada negara, dalam hal ini kepada (i) MPR, DPR, DPD, dan
Presiden dalam urusan penyusunan haluan-haluan dan perumusan
kebijakan-kebijakan resmi bernegara, dan (ii) kepada Presiden dan lembaga-lembaga
eksekutif-pemerintahan lainnya dalam urusanurusan melaksanakan haluan-haluan
dan kebijakan-kebijakan negara itu, serta (iii) secara tidak langsung kepada
lembaga peradilan dalam urusan mengadili pelanggaran terhadap haluan dan kebijakan-kebijakan
negara itu.
Namun,
terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan dari rakyat yang berdaulat kepada
para delegasi rakyat, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif
itu, makna kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi itu tidak dapat dikurangi dengan dalih kewenganan
rakyat sudah diserahkan kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara,
kedaulatan rakyat itu bersifat ‘relatif mutlak’, meskipun harus diberi makna
yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan Allah sebagaimana diakui dalam
Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945. Sebagai konsekwensi tauhid, yaitu keimanan
bangsa Indonesia kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap manusia
Indonesia dipahami sebagai Khalifah Tuhan di atas muka bumi yang diberi
kekuasaan untuk mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[1]
Pada kesempatan lain Bung Hatta menegaskan kembali
pengertian usaha bersama atas asas kekeluargaan seperti dimaksud dalam Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut: “Usaha bersama atas asas kekeluargaan
ialah koperasi, seperti yang dipahamkan dalam sosialisme Indonesia. Pasal 33
UUD membagi pekerjaan membangun ekonomi masyarakat antara koperasi dan negara.
Koperasi membangun dari bawah, mengajak orang banyak bekerja sama untuk
menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Usaha yang besar-besar diselenggarakan
oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti, bahwa pemerintah sendiri
menjadi pengusaha dengan segala birokrasi yang ada padanya. Pemerintah
menetapkan politik perekonomian, berdasarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pekerjaan dapat diserahkan
kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, yang kerjanya
dikontrol oleh negara.”[2]
[1]
Jimly Asshiddiqi “Demokrasi
Ekonomi” di http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf
diakses pada tanggal 14 Mei 2015
[2]
Sri-Edi
Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), 1992, Mohammad
Hatta; beberapa pokok pikiran, UI-Press: Jakarta. hlm. 150
Demokrasi Ekonomi
4/
5
Oleh
Roikhan